Senin, 07 Desember 2009

Saya Manusia Biasa





Tiba-tiba Yulli marah-marah, menutup telepon dengan keras dan melemparkan sebuah pena yang hampir mengenai meja ku .... suasana kantor menjadi semakin gaduh saat itu. Beberapa hari yang lalu Yulli baru saja memutuskan hubungan cintannya yang sudah berjalan lebih dari 4 tahun itu. Yulli berencana untuk menjauhi laki-laki yang selama ini justru selalu menjadi pengganggu pikirannya. Ia sudah lama kehilangan rasa cintanya terhadap pria berdarah Palembang itu, konon Pria itu sering memperlakukan Yulli dengan sangat kasar bila pria itu marah.

Saya sebagai teman dekat, mencoba untuk menghibur kegundahan hatinya, beberapa saat Ia tidak menginginkan untuk menceritakan hal itu, namun setelah beberapa hari Ia datang sendiri kerumahku untuk menceritakan segumpal masalah yang menyesakkan hatinya selama ini.

Ia memulai kalimat-kalimatnya dengan menangis, Ia sangat terpukul sekali dengan masalah pribadinya. “Beberapa tahun lalu Yulli sangat mencintai dan percaya penuh dengan pria itu, apapun yang Ia inginkan selalu Yuli berikan”.

Permulaan cerita itu membuat saya langsung saja dapat menebak maksud cerita Yulli, ketika saya berusaha meyakinkan pikiran saya dengan menekankan suara tanya saya kepadanya, Yulli malah semakin menangis tersendak.

Yulli salah satu korban seperti ratusan perempuan yang terkena tipu daya laki-laki, selama waktu Ia berpacaran, Ia hanya sebagai tempat pelampiasan hawa nafsu pacarnya. Yulli adalah perempuan muda yang belum memiliki prinsip yang kuat, Ia hanya terjerumus oleh “trend” dan gaya hidup masa kini.

Saya sendiri merasa seperti terpukul mendengar cerita itu, saya sebagai seorang pria pun merasakan penderitaan Yulli yang sangat miskin pengetahuan akan agama itu. Lantas aku bertanya kepadanya : “kamu tahu kan seberapa besar dosanya melakukan hal itu?” saya tidak tahu, benar apa tidak perkataan saya tadi, yang jelas hanya kalimat itulah yang muncul difikiran saya saat mendengarkan ceritanya.

Meski saya sangat marah mendengar cerita itu, namun saya mencoba untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang akan menambah kesedihannya. Sesekali saya hanya mencoba mengeluarkan kata-kata bijak untuknya, saya hanya mencoba memberikan motivasi untuk kehidupannya esok harinya.

Namun dibalik semua perkataan saya saat itu, saya merasakan kegagalan yang besar bagi diri saya, saya merasa tidak mampu menjaga seorang teman baik. Saya mengenal Yulli lebih lama dibanding Pria liar itu, namun saya tidak sanggup menjaga Yulli dan keutuhan kehidupannya.

Saya hanya berujar “keputusanmu untuk meninggalkannya adalah sebuah keputusan besar yang bijak buat diri mu, mungkin mahkota itu telah direnggutnya, namun hati kecilmu masih menyisakan kekayaan moral dan kebaikan” Yulli saat itu merasakan tidak mampu melakukan apa-apa lagi, Ia merasa seperti orang yang tidak memiliki arti lagi, namun Ia tidak mampu bila harus memilih terus bersama dengan pria yang sering kali menyakitinya. Yulli sedih sekali bila Ia mengingat bahwa pacarnya hanya baik kepadanya bila Ia sedang menginginkan sebuah hubungan itu dengan Yulli.

Entah kenapa saat itu saya sangat ingin sekali menolongnya, saya ingin membuat Yulli menjadi tidak frustasi lagi, membuat Yulli menjadi semangat lagi, dan membuat Yulli kembali kepada ajaran agama serta tobat kepada-Nya.

Entah apa yang saya pikirkan, entah benar atau tidak, waktu itu saya langsung berjanji bersedia untuk menikahinya dan tetap berada disampingnya dalam keadaan apapun. Mungkin waktu itu saya terlalu berlebihan, namun saya merasakan kepedihannya yang amat dalam. Disamping itu saya memiliki dua orang kakak perempuan, saya hanya merasakan bagaimana bila kejadian itu terjadi kepada kedua kakak saya.

Hari terus berjalan, pekan demi pekan berganti serta bulan demi bulan kami lalui. Semula kami menjalani hubungan itu dengan baik, kami tidak pernah ribut dan keadaan Yulli mulai membaik. Keinginannya untuk mempelajari kitab suci semakin tinggi, kedisiplinannya di Agama semakin membaik terutama Ibadah sholat dan berpuasa.

Sampai pada suatu ketika sebuah hal mulai menjalar merasuki hubungan kami berdua. Entah apa salah saya, hingga orang tua dan keluarga Yulli mulai mencoba mengatur kehidupan saya dan Yulli. Mereka mulai menjalani adat-istiadat jawa yang terkesan kuno dan mengekang. Bagi saya, hati saya mulai mencintai Yulli dengan sepenuh hati, namun perinsip kuno itu membuat saya menjadi melihat beberapa hal yang lebih nyata di diri Yulli.

Yulli tidak mampu mendeskripsikan secara baik mengenai diri dan keberadaan saya kepada keluargannya. Awalnya saya mencoba menerima hal-hal kecil tersebut, namun semakin hari saya semakin melihat kosongnya keteguhan dan prinsip dari diri seorang Yulli.

Yulli memang seorang wanita modern yang sama sekali tidak memiliki prinsip, Ia anak tertua namun selalu berada dibawah aturan adik-adiknya. Yulli tidak dapat berkompromi dan bernegosiasi dengan keluargannya tentang kehadiran saya. Hingga seringkali adik-adiknya mencoba ikut mengatur dan menasehati saya.

Dalam keterhimpitan posisi saya, pikiran saya hanya memberikan jawaban : “ternyata ini adalah jawaban mengapa Yulli menerima pacarnya itu untuk menidurinya” Ia tidak memiliki perinsip, Ia tidak memiliki keteguhan hati, Ia sangat naif dan tidak dapat memimpin dirinya sendiri.

Mungkin saya sangat hilaf saat itu, mencoba menanggung apa yang bukan saya lakukan. Hingga pada kenyataannya saya selalu terbayang dengan “hubungan mereka” dan segudang pertanyaan tentang itu semua. Hinggga setiap ada masalah diantara kami saya cenderung langsung sensitif dan berfikir yang bukan-bukan.

Saya memang manusia biasa, saya pun seorang pecundang. Saya berani mengambil keputusan tanpa pernah mengukur kesanggupan diri ini untuk menerima resikonya. Hingga pada suatu saat, saya mendengar cerita teman saya tentang hubungan cintanya. Ia memutuskan pacarnya yang “susah diatur” dengan alasan :

“kenapa pusing-pusing untuk berusaha merubah orang, sementara untuk merubah diri sendiri pun sudah sangat susah, ya sudah cari aja yang lain yang memang minimal sudah 80% sikap dan sifatnya sama dengan kita”.

Sebulan masalah mengenai keluarga itu telah ada di sekeliling hubungan kami. Meski saya sangat membutuhkan masukan, saya mencoba untuk tidak menceritakan kepada sahaba-sahabat saya mengenai keaslian cerita yang saya alami.

Saya merasakan kebimbangan yang mendalam, hingga saya beberapa kali berfikir :

“sebenarnya saya rela untuk mengabdikan diri ini untuk kehidupan Yulli dan semua keputusan saya saat itu, tapi biarkan saya untuk berprilaku apa adanya, tanpa desakkan kalian pun (keluarga Yulli) saya sudah sangat merasa bimbang”.

Memang saya terus-menerus merasakan kebimbangan, karap kali saya selalu berfikir mengenai keputusan saya itu. Tak jarang pula ego saya meuncul seolah saya sudah cukup besar memberikan budi baik terhadap Yulli.

Setahun sebelum kisah saya dengan Yulli, saya pun pernah mengalami kegagalan dengan perempuan lain bernama Erna. Waktu itu, ketika saya sudah sangat mencintainya dan bersusah payah menjaga kehormatannya selama 4 tahun, Ia menikah dengan orang lain teman sekantornya. Saya berfikir :

“Suratan apa yang sedang Tuhan berikan kepada saya, disaat saya telah menjaga kehormatan seorang perempuan selama bertahun-tahun pada hubungan saya lalu, yang selalu menjalankan hubungan cinta di jalan-Mu, tetapi perempuan itu justru pergi menikah dengan pria lain. Sementara saat ini Engkau kirimkan kepadaku seorang wanita yang pernah melewati rambu-rambu yang telah Engkau tetapkan”

Saya merasa hancur melihat seluruh jalan hidup saya ini, hingga pada saatnya saya mencoba menjauhi Yulli tanpa pernah berani untuk memberikan ketegasan tentang kelanjutan hubungan itu. Saya merasakan bahwa saya sangat pengecut, tapi saya sangat tidak tahu harus berbuat apa lagi. Sementara saya tidak sanggup mengatakan apa-apa lagi kepada Yulli, saya tidak sanggup melihat air matanya untuk yang kedua kalinya, untuk itu saya pergi begitu saja.

Maafkan saya Yulli.............

Maafkan saya Tuhan........

Bukan maksud saya menyakiti salah satu hamba-Mu, untuk keputusan itu saya hanya mengharapkan surga-Mu, benar-benar untuk surga-Mu, bukan murka-Mu. Namun mental ini terpaksa rapuh oleh hujan cobaan yang belum semua dapat saya hadapi. Karena saya manusia biasa ............

Tidak ada komentar: