Senin, 14 Desember 2009

4 Golongan Lelaki yang Ditarik Wanita ke Neraka


Betapa hebatnya daya pikat dan tarikan wanita, bukan saja di dunia. Namun di akhirat pun demikian, maka kaum lelaki yang bergelar ayah, suami, abang, atau anak harus memainkan peranan mereka dengan sungguh-sungguh. Seorang wanita itu apabila di yaumil alkhirat nanti akan menarik empat golongan lelaki bersamanya ke dalam neraka. Tulisan ini bukan untuk merendahkan wanita, tetapi sebaliknya supaya kaum lelaki memainkan peranannya sesuai hak dan seksama, serta berwaspada akan tanggung jawab yang dipikul di dunia!


Ayahnya
Apabila seseorang yg bergelar ayah tidak memperdulikan anak-anak perempuannya di dunia. Dia tidak memberikan segala keperluan agama seperti mengajar sholat, mengaji, dan sebagainya. Dia membiarkan anak-anak perempuannya tidak menutup aurat. Tidak cukup hanya memberi kemewahan dunia saja maka dia akan ditarik ke neraka oleh anaknya.


Suaminya
Apabila sang suami tidak memperdulikan tindak tanduk isterinya. Bergaul bebas di luar rumah,menghias diri bukan untuk suami tapi untuk pandangan kaum lelaki yang bukan muhrim. Apabila suami berdiam diri walaupun dia seorang alim, misalkan sholat tidak lalai, puasa tidak tinggal, maka dia akan turut ditarik oleh isterinya kelak.


Abangnya
Apabila ayahnya sudah tiada, tanggung jawab menjaga wanita jatuh ke pundak abang-abangnya. Jikalau mereka hanya mementingkan keluarganya saja, sementara adik perempuannya dibiarkan melenceng dari ajaran Islam, tunggulah tarikan sang adik wanita di akhirat nanti.


Anak lelakinya
Apabila seorang anak tidak menasihati ibu perihal tindak-tanduk yang menyimpang dari Islam. Bila ibu membuat kemungkaran pengumpat, bergunjing, dan lain sebagainya maka anak lelaki itu akan ikut di tanya serta diminta pertangungjawabannya di akhirat kelak.


Dikutip dari arsip UNIC Virtual Komuniti dan situs web KotaSantri dengan perubahan seperlunya tanpa mengubah makna.

1 tamparan untuk 3 pertanyaan



Ada seorang pemuda yang lama sekolah di luar negeri, kembali ke tanah
air. Sesampainya di rumah ia meminta kepada orang tuanya untuk mencari
seorang guru agama, kiyai atau siapa saja yang bisa menjawab 3 pertanyaannya.
Akhirnya orang tua pemuda itu mendapatkan orang tersebut, seorang
kiyai.

Pemuda : Anda siapa ? Dan apakah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?
Kiyai : Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda.

Pemuda: Anda yakin? Sedangkan Profesor dan ramai orang yang pintar tidak mampu menjawab pertanyaan saya.
Kiyai : Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya.

Pemuda : Saya ada 3 pertanyaan;
1.Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukan wujud Tuhan kepada saya ?
2.Apakah yang dinamakan takdir ?
3.Kalau syaitan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat syaitan. Sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?

Tiba-tiba kyai tersebut menampar pipi pemuda tadi dengan keras.

Pemuda : (sambil menahan sakit) Kenapa anda marah kepada saya?
Kiyai : Saya tidak marah...Tamparan itu adalah jawaban saya atas 3 pertanyaan yang anda ajukan kepada saya.

Pemuda : Saya sungguh-sungguh tidak mengerti.
Kiyai : Bagaimana rasanya tamparan saya?

Pemuda : Tentu saja saya merasakan sakit.
Kiyai : Jadi anda percaya bahawa sakit itu ada?

Pemuda : Ya!
Kiyai : Tunjukan pada saya wujud sakit itu!

Pemuda : Saya tidak bisa.
Kiyai : Itulah jawaban pertanyaan pertama...kita semua merasakan kewujudan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.

Kiyai : Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?
Pemuda : Tidak.

Kiyai : Apakah pernah terfikir oleh anda akan menerima tamparan dari saya hari ini?
Pemuda : Tidak.
Kiyai : Itulah yang dinamakan takdir.

Kiyai : Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar
anda?
Pemuda : Kulit.

Kiyai : Terbuat dari apa pipi anda?
Pemuda : Kulit.

Kiyai : Bagaimana rasanya tamparan saya?
Pemuda: Sakit.

Kiyai : Walaupun syaitan dijadikan dari api dan neraka juga terbuat dari api, jika Tuhan menghendaki maka neraka akan menjadi tempat yang menyakitkan untuk syaitan.

hal diatas tentu tidak mengada- ada tapi memang benar adanya. ketika saya percaya pada Allah Swt maka saya tidak perlu tau apakah Dia itu ada tapi saya yakin Dia mengawasi saya.

Memberikan Pujian


Seorang pengemis duduk mengulurkan tangannya di sudut jalan. Tolstoy, penulis besar Rusia yang kebetulan lewat di depannya, langsung berhenti dan mencoba mencari uang logam di sakunya. Ternyata tak ada. Dengan amat sedih ia berkata, "Janganlah marah kepadaku, hai Saudaraku. Aku tidak bawa uang."

Mendengar kata-kata itu, wajah pengemis berbinar-binar, dan ia menjawab, "Tak apa-apa Tuan. Saya gembira sekali, karena Anda menyebut saya saudara. Ini pemberian yang sangat besar bagi saya."

Setiap manusia, apapun latar belakangnya, memiliki kesamaan yang mendasar: ingin dipuji, diakui, didengarkan dan dihormati.

Kebutuhan ini sering terlupakan begitu saja. Banyak manajer yang masih beranggapan bahwa orang hanya termotivasi uang. Mereka lupa, nilai uang hanya bertahan sampai uang itu habis dibelanjakan. Ini sesuai dengan teori Herzberg yang mengatakan bahwa uang tak akan pernah mendatangkan kepuasan dalam bekerja.

Manusia bukan sekadar makhluk fisik, tapi juga makhluk spiritual yang membutuhkan sesuatu yang jauh lebih bernilai. Mereka butuh penghargaan dan pengakuan atas kontribusi mereka. Tak perlu sesuatu yang sulit atau mahal, ini bisa sesederhana pujian yang tulus.

Namun, memberikan pujian ternyata bukan mudah. Jauh lebih mudah mengritik orang lain.

Seorang kawan pernah mengatakan, "Bukannya saya tak mau memuji bawahan, tapi saya benar-benar tak tahu apa yang perlu saya puji. Kinerjanya begitu buruk." "Tahukah Anda kenapa kinerjanya begitu buruk?" saya balik bertanya. "Karena Anda sama sekali tak pernah memujinya!"

Persoalannya, mengapa kita begitu sulit memberi pujian pada orang lain?
Menurut saya, ada tiga hal penyebabnya, dan kesemuanya berakar pada cara kita memandang orang lain.

Pertama, kita tidak tulus mencintai mereka. Cinta kita bukanlah unconditional love, tetapi cinta bersyarat. Kita mencintai pasangan kita karena ia mengikuti kemauan kita, kita mencintai anak-anak kita karena mereka berprestasi di sekolah, kita mengasihi bawahan kita karena mereka memenuhi target pekerjaan yang telah ditetapkan.

Perhatikanlah kata-kata di atas: cinta bersyarat. Artinya, kalau syarat-syarat tidak terpenuhi, cinta kita pun memudar. Padahal, cinta yang tulus seperti pepatah Perancis: L`amour n`est pas parce que mais malgre. Cinta adalah bukan "cinta karena", tetapi "cinta walaupun". Inilah cinta yang tulus, yang tanpa kondisi dan persyaratan apapun.

Cinta tanpa syarat adalah penjelmaan sikap Tuhan yang memberikan rahmatNya tanpa pilih kasih. Cinta Tuhan adalah "cinta walaupun". Walaupun Anda mengingkari nikmatNya, Dia tetap memberikan kepada Anda. Lihatlah bagaimana Dia menumbuhkan bunga-bunga yang indah untuk dapat dinikmati siapa saja tak peduli si baik atau si jahat. Dengan paradigma ini, Anda akan menjadi manusia yang tulus, yang senantiasa melihat sisi positif orang lain. Ini bisa memudahkan Anda memberi pujian.

Kesalahan kedua, kita lupa bahwa setiap manusia itu unik. Ada cerita mengenai seorang turis yang masuk toko barang unik dan antik. Ia berkata, "Tunjukkan pada saya barang paling unik dari semua yang ada di sini!" Pemilik toko memeriksa ratusan barang: binatang kering berisi kapuk, tengkorak, burung yang diawetkan, kepala rusa, lalu berpaling ke turis dan berkata, "Barang yang paling unik di toko ini tak dapat disangkal adalah saya sendiri!"

Setiap manusia adalah unik, tak ada dua orang yang persis sama. Kita sering menyamaratakan orang, sehingga membuat kita tak tertarik pada orang lain. Padahal, dengan menyadari bahwa tiap orang berbeda, kita akan berusaha mencari daya tarik dan inner beauty setiap orang. Dengan demikian, kita akan mudah sekali memberi pujian.

Kesalahan ketiga disebut paradigm paralysis. Kita sering gagal melihat orang lain secara apa adanya, karena kita terperangkap dalam paradigma yang kita buat sendiri mengenai orang itu. Tanpa disadari kita sering mengotak-ngotakkan orang. Kita menempatkan mereka dalam label-label: orang ini membosankan, orang itu menyebalkan, orang ini egois, orang itu mau menang sendiri. Inilah persoalannya: kita gagal melihat setiap orang sebagai manusia yang "segar dan baru". Padahal, pasangan, anak, kawan, dan bawahan kita yang sekarang bukanlah mereka yang kita lihat kemarin. Mereka berubah dan senantiasa baru dan segar setiap saat.

Penyakit yang kita alami, apalagi menghadapi orang yang sudah bertahun-tahun berinteraksi dengan kita adalah 4 L (Lu Lagi, Lu Lagi -- bahasa Jakarta). Kita sudah merasa tahu, paham dan hafal mengenai orang itu. Kita menganggap tak ada lagi sesuatu yang baru dari mereka. Maka, di hadapan kita mereka telah kehilangan daya tariknya.

Sewaktu membuat tulisan ini, istri saya pun menyindir saya dengan mengatakan bahwa saya tak terlalu sering lagi memujinya setelah kami menikah. Sebelum menikah dulu, saya tak pernah kehabisan bahan untuk memujinya. Sindiran ini, tentu, membuat saya tersipu-sipu dan benar-benar mati kutu.

Pujian yang tulus merupakan penjelmaan Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Maka, ia mengandung energi positif yang amat dahsyat. Saya telah mencoba menerapkan pujian dan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang saya jumpai: istri, pembantu yang membukakan pagar setiap pagi, bawahan di kantor, resepsionis di kantor klien, tukang parkir, satpam, penjaga toko.

Efeknya ternyata luar biasa. Pembantu bahkan menjawab ucapan terima kasih saya dengan doa, "Hati-hati di jalan Pak!" Orang-orang yang saya jumpai juga senantiasa memberi senyuman yang membahagiakan. Sepertinya mereka terbebas dari rutinitas pekerjaan yang menjemukan.

Pujian memang mengandung energi yang bisa mencerahkan, memotivasi, membuat orang bahagia dan bersyukur. Yang lebih penting, membuat orang merasa dimanusiakan.

Berikan Ketulusan, Bukan Kesempurnaan


Beberapa buruh menemui sang majikan. Mereka mengeluhkan ongkos angkutan yang semakin mahal, dan meminta sang majikan untuk bersedia membantu. Perusahaan itu sudah ada di sana bertahun-tahun, turun-temurun. Mereka sendiri sudah saling mengenal baik.

Sang majikan mengatakan bahwa sebenarnya beliau ingin sekali membantu, namun keuangan perusahaan tak cukup memungkinkan. Sedangkan menyediakan kendaraan angkutan yang layak pun kesulitan. Hanya ada dua buah truk tua yang biasa digunakan untuk mengangkut barang. Bila pekerja tak keberatan, mereka bisa memakainya untuk antar jemput setiap hari. Ternyata, para pekerja itu menyambut dengan gembira.

Kata mereka, "Kami ini buruh kecil yang terbiasa hidup berat. Naik truk berdesak-desakan bukan hal yang sulit buat kami." Dan, keesokan hari berbondong-bondong para buruh itu berangkat dan pulang kerja bersama-sama. Tidak seorang pun ada yang terlambat datang.

Bila anda bermaksud memberikan sesuatu bagi orang lain, jangan tunggu semuanya sempurna. Ketulusan adalah jawaban terutama.

10 Reasons I Quit Smoking


You're almost there. You want to quit. In fact, 80 percent of your brain is sure you can. But 20 percent insists that you can't. How do you make it over to the other side without falling SPLAT on your face?

Do this. Make a list. Of ten reasons you should quit.
Here's mine.
1. Smoking Made Me Sick
For real. Within a few minutes of inhaling a few cigarettes, my throat would start to tickle and my head would begin hurt. The day after a binge, I'd wake up with a nasty cold that kept me in bed when I had a million things to do.
Smoking shrinks your blood vessels, clogs up your lungs, and wears down your immune system. Your body is less able to fight off bacteria and viruses, so, yes, you get sick. And there's of course the lung cancer and increased chances of heart attack, stroke, and other serious health conditions.

2. My Wife Told Me I Smelled
He didn't issue an ultimatum: "It's either me or the lung rockets."
But he did, one night right after we had sex, say, "You smell like smoke. And it's not sexy." I could have, theoretically, told her to visit a place where there are no lemonade stands. But I knew she was just being honest with me, and that I needed to file that information in the "reasons I should quit" box.

3. I Wanted to Set a Good Example for My Kids
I got tired of hiding it from them. It was getting complicated. I rationalized that smoking in front of 3-year-old Alif, could very well process it and file the picture (and definitely debrief the rest of the house on the white candy sticks). It was too much of a risk. One day I finally said to myself, "Self, if it's so important to hide this habit from my kids, shouldn't I quit?" And there was silence.

4. I Looked Stupid Lighting Up After a Run
You can picture it, right? Here I was working so hard on my wellness
program: eating lots of greens, loading up on Omega-3 fatty acids, trying to get adequate sleep, meditating, and of course exercising five times a week. So when I'd light up after a good run, you can imagine the stares. The snapshot was like a Sesame Street episode where you have to pick out one thing that doesn't belong in the picture. That one thing was the white stick.

5.It Sent the Wrong Message
A few months after college graduation, when I was working at my first job, my mom told me to dress for the position that I wanted... to send the subtle but effective messages whenever possible. Her wisdom translated to smoking breaks. By going out of the building for a few puffs with some co-workers, I was sending a very direct message, and not the right

6.I Ran Out of Money
You've probably tallied it up, and it kills you, doesn't it? Knowing how much cash you are squandering for your fix? An average pack of cigs costs about $4.50 today. Let's say you smoke a pack a day. You're throwing out $135 a month, and $1620 a year. It's a bloody expensive habit. I started to see it as babysitting money. And then it hit me. I'd much rather get a sitter and go out to a nice dinner than to be a slave to the white sticks.

7.It Made Me Depressed
Given my delicate biochemistry, I need to avoid all foods, drinks, or chemicals that make me depressed. That's essentially why I eliminated booze from my life. It's a depressant: my hangovers involved more than a headache. Smoking cigarettes can also increase the chance of developing depression. By a whopping 41 percent, according to a new study from the University of Navarra in Spain and the Harvard School of Public Health. Researchers discovered there was a direct correlation between smoking and depression among the 8,556 participants.

8.It Was Bad for My Image
I realize I'm not the perfect poster girl for mental health, but I do like to practice what I preach. So if I'm writing about my addictions with a cigarette in one hand and a brandy in the other--all while dispensing smart advice on how you all can break free of your habits--I'm going to feel like a mongo hypocrite. And that creates stress, which is bad for my mental health. So, for as long as I'm in the business of writing mental health material, I need to keep a sort-of clean image.

9.It Looks Ugly
I will always remember the sight at this elegant wedding I attended of a gorgeous bride with a cigarette in her mouth. Take away the white stick, and she could have posed for the magazine of her choice. She was petite and exquisite. Add the lung rocket, and she looked, well, like she had just been dropped off on a motorcycle to her nuptial vows. It was just not a good look at all. Not in anyway. And I started to think to myself, "Yipes. Is that what I look like when I'm smoking?"

10.I Wanted to Be Free
All addictions enslave you. They place you on their schedule, and you have no say in the matter. If you miss your afternoon smoke break, you are a wreck by the evening. There is not much you can do. You grow irritable. You need your fix. NOW.
I don't like belonging to anyone. Marriage has been a hard enough transition for me. I like to make my own rules. When I want. How I want. So because of that, I had to bid adios to my inflexible friend, to the addiction that wouldn't let me determine what I did with my afternoon.

Senin, 07 Desember 2009

Saya Manusia Biasa





Tiba-tiba Yulli marah-marah, menutup telepon dengan keras dan melemparkan sebuah pena yang hampir mengenai meja ku .... suasana kantor menjadi semakin gaduh saat itu. Beberapa hari yang lalu Yulli baru saja memutuskan hubungan cintannya yang sudah berjalan lebih dari 4 tahun itu. Yulli berencana untuk menjauhi laki-laki yang selama ini justru selalu menjadi pengganggu pikirannya. Ia sudah lama kehilangan rasa cintanya terhadap pria berdarah Palembang itu, konon Pria itu sering memperlakukan Yulli dengan sangat kasar bila pria itu marah.

Saya sebagai teman dekat, mencoba untuk menghibur kegundahan hatinya, beberapa saat Ia tidak menginginkan untuk menceritakan hal itu, namun setelah beberapa hari Ia datang sendiri kerumahku untuk menceritakan segumpal masalah yang menyesakkan hatinya selama ini.

Ia memulai kalimat-kalimatnya dengan menangis, Ia sangat terpukul sekali dengan masalah pribadinya. “Beberapa tahun lalu Yulli sangat mencintai dan percaya penuh dengan pria itu, apapun yang Ia inginkan selalu Yuli berikan”.

Permulaan cerita itu membuat saya langsung saja dapat menebak maksud cerita Yulli, ketika saya berusaha meyakinkan pikiran saya dengan menekankan suara tanya saya kepadanya, Yulli malah semakin menangis tersendak.

Yulli salah satu korban seperti ratusan perempuan yang terkena tipu daya laki-laki, selama waktu Ia berpacaran, Ia hanya sebagai tempat pelampiasan hawa nafsu pacarnya. Yulli adalah perempuan muda yang belum memiliki prinsip yang kuat, Ia hanya terjerumus oleh “trend” dan gaya hidup masa kini.

Saya sendiri merasa seperti terpukul mendengar cerita itu, saya sebagai seorang pria pun merasakan penderitaan Yulli yang sangat miskin pengetahuan akan agama itu. Lantas aku bertanya kepadanya : “kamu tahu kan seberapa besar dosanya melakukan hal itu?” saya tidak tahu, benar apa tidak perkataan saya tadi, yang jelas hanya kalimat itulah yang muncul difikiran saya saat mendengarkan ceritanya.

Meski saya sangat marah mendengar cerita itu, namun saya mencoba untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang akan menambah kesedihannya. Sesekali saya hanya mencoba mengeluarkan kata-kata bijak untuknya, saya hanya mencoba memberikan motivasi untuk kehidupannya esok harinya.

Namun dibalik semua perkataan saya saat itu, saya merasakan kegagalan yang besar bagi diri saya, saya merasa tidak mampu menjaga seorang teman baik. Saya mengenal Yulli lebih lama dibanding Pria liar itu, namun saya tidak sanggup menjaga Yulli dan keutuhan kehidupannya.

Saya hanya berujar “keputusanmu untuk meninggalkannya adalah sebuah keputusan besar yang bijak buat diri mu, mungkin mahkota itu telah direnggutnya, namun hati kecilmu masih menyisakan kekayaan moral dan kebaikan” Yulli saat itu merasakan tidak mampu melakukan apa-apa lagi, Ia merasa seperti orang yang tidak memiliki arti lagi, namun Ia tidak mampu bila harus memilih terus bersama dengan pria yang sering kali menyakitinya. Yulli sedih sekali bila Ia mengingat bahwa pacarnya hanya baik kepadanya bila Ia sedang menginginkan sebuah hubungan itu dengan Yulli.

Entah kenapa saat itu saya sangat ingin sekali menolongnya, saya ingin membuat Yulli menjadi tidak frustasi lagi, membuat Yulli menjadi semangat lagi, dan membuat Yulli kembali kepada ajaran agama serta tobat kepada-Nya.

Entah apa yang saya pikirkan, entah benar atau tidak, waktu itu saya langsung berjanji bersedia untuk menikahinya dan tetap berada disampingnya dalam keadaan apapun. Mungkin waktu itu saya terlalu berlebihan, namun saya merasakan kepedihannya yang amat dalam. Disamping itu saya memiliki dua orang kakak perempuan, saya hanya merasakan bagaimana bila kejadian itu terjadi kepada kedua kakak saya.

Hari terus berjalan, pekan demi pekan berganti serta bulan demi bulan kami lalui. Semula kami menjalani hubungan itu dengan baik, kami tidak pernah ribut dan keadaan Yulli mulai membaik. Keinginannya untuk mempelajari kitab suci semakin tinggi, kedisiplinannya di Agama semakin membaik terutama Ibadah sholat dan berpuasa.

Sampai pada suatu ketika sebuah hal mulai menjalar merasuki hubungan kami berdua. Entah apa salah saya, hingga orang tua dan keluarga Yulli mulai mencoba mengatur kehidupan saya dan Yulli. Mereka mulai menjalani adat-istiadat jawa yang terkesan kuno dan mengekang. Bagi saya, hati saya mulai mencintai Yulli dengan sepenuh hati, namun perinsip kuno itu membuat saya menjadi melihat beberapa hal yang lebih nyata di diri Yulli.

Yulli tidak mampu mendeskripsikan secara baik mengenai diri dan keberadaan saya kepada keluargannya. Awalnya saya mencoba menerima hal-hal kecil tersebut, namun semakin hari saya semakin melihat kosongnya keteguhan dan prinsip dari diri seorang Yulli.

Yulli memang seorang wanita modern yang sama sekali tidak memiliki prinsip, Ia anak tertua namun selalu berada dibawah aturan adik-adiknya. Yulli tidak dapat berkompromi dan bernegosiasi dengan keluargannya tentang kehadiran saya. Hingga seringkali adik-adiknya mencoba ikut mengatur dan menasehati saya.

Dalam keterhimpitan posisi saya, pikiran saya hanya memberikan jawaban : “ternyata ini adalah jawaban mengapa Yulli menerima pacarnya itu untuk menidurinya” Ia tidak memiliki perinsip, Ia tidak memiliki keteguhan hati, Ia sangat naif dan tidak dapat memimpin dirinya sendiri.

Mungkin saya sangat hilaf saat itu, mencoba menanggung apa yang bukan saya lakukan. Hingga pada kenyataannya saya selalu terbayang dengan “hubungan mereka” dan segudang pertanyaan tentang itu semua. Hinggga setiap ada masalah diantara kami saya cenderung langsung sensitif dan berfikir yang bukan-bukan.

Saya memang manusia biasa, saya pun seorang pecundang. Saya berani mengambil keputusan tanpa pernah mengukur kesanggupan diri ini untuk menerima resikonya. Hingga pada suatu saat, saya mendengar cerita teman saya tentang hubungan cintanya. Ia memutuskan pacarnya yang “susah diatur” dengan alasan :

“kenapa pusing-pusing untuk berusaha merubah orang, sementara untuk merubah diri sendiri pun sudah sangat susah, ya sudah cari aja yang lain yang memang minimal sudah 80% sikap dan sifatnya sama dengan kita”.

Sebulan masalah mengenai keluarga itu telah ada di sekeliling hubungan kami. Meski saya sangat membutuhkan masukan, saya mencoba untuk tidak menceritakan kepada sahaba-sahabat saya mengenai keaslian cerita yang saya alami.

Saya merasakan kebimbangan yang mendalam, hingga saya beberapa kali berfikir :

“sebenarnya saya rela untuk mengabdikan diri ini untuk kehidupan Yulli dan semua keputusan saya saat itu, tapi biarkan saya untuk berprilaku apa adanya, tanpa desakkan kalian pun (keluarga Yulli) saya sudah sangat merasa bimbang”.

Memang saya terus-menerus merasakan kebimbangan, karap kali saya selalu berfikir mengenai keputusan saya itu. Tak jarang pula ego saya meuncul seolah saya sudah cukup besar memberikan budi baik terhadap Yulli.

Setahun sebelum kisah saya dengan Yulli, saya pun pernah mengalami kegagalan dengan perempuan lain bernama Erna. Waktu itu, ketika saya sudah sangat mencintainya dan bersusah payah menjaga kehormatannya selama 4 tahun, Ia menikah dengan orang lain teman sekantornya. Saya berfikir :

“Suratan apa yang sedang Tuhan berikan kepada saya, disaat saya telah menjaga kehormatan seorang perempuan selama bertahun-tahun pada hubungan saya lalu, yang selalu menjalankan hubungan cinta di jalan-Mu, tetapi perempuan itu justru pergi menikah dengan pria lain. Sementara saat ini Engkau kirimkan kepadaku seorang wanita yang pernah melewati rambu-rambu yang telah Engkau tetapkan”

Saya merasa hancur melihat seluruh jalan hidup saya ini, hingga pada saatnya saya mencoba menjauhi Yulli tanpa pernah berani untuk memberikan ketegasan tentang kelanjutan hubungan itu. Saya merasakan bahwa saya sangat pengecut, tapi saya sangat tidak tahu harus berbuat apa lagi. Sementara saya tidak sanggup mengatakan apa-apa lagi kepada Yulli, saya tidak sanggup melihat air matanya untuk yang kedua kalinya, untuk itu saya pergi begitu saja.

Maafkan saya Yulli.............

Maafkan saya Tuhan........

Bukan maksud saya menyakiti salah satu hamba-Mu, untuk keputusan itu saya hanya mengharapkan surga-Mu, benar-benar untuk surga-Mu, bukan murka-Mu. Namun mental ini terpaksa rapuh oleh hujan cobaan yang belum semua dapat saya hadapi. Karena saya manusia biasa ............

When a man love a woman


Ketika pria mencintai wanita
Dia mencari kesatuan atau kesatuan akhir dalam cinta
Dan tidak ada kesatuan dalam bentuk konfigurasi yang lebih besar daripada pernikahan

Sebab hakekat penciptaan wanita

Adalah ketika Tuhan memisahkan dari pria
Seseorang dalam bentuk yang dinamainya wanita
Maka ia merindukannya itu sebagaimana merindukan dirinya sendiri
Dan wanita itupun merindukan tempat asalnya