Cara berbahagia adalah upaya meraih kebahagiaan. Bahagia berarti mencapai kesejahteraan psikis pada setiap kondisi dan situasi. Hidup tidak hanya hitam dan putih, namun dipenuhi beragam warna. Berbagai situasi dan kondisi hidup, entah itu senang, susah, biasa-biasa, rutin, monoton, semua harus bisa dan berani dihadapi.
Kamis, 06 Agustus 2009
Haruskah Harta Menjadi Dewa?
Berbondong-bondong orang mengikuti pertemuan-pertemuan yang membahas bagaimana tips dan trick menjadi kaya. Dua hari yang lalu pun, teman lama saya mengajak bertemu di sebuah tempat untuk sekedar makan malam bersama. “Apa Kabar Yan, bagaimana pekerjaan mu?” dan berulang kali seperti tanpa malu-malu lagi Ia mengajak saya berbicara bagaimana menjadi kaya.
Beberapa saat pertama saya masih belum mengerti tentang maksud “lemparan-lemparan” kalimat pembuka yang diberikannya. Namun setelah makan usai, ternyata Ia hanya ingin mempresentasikan kepada saya mengenai sebuah usaha Multi Level Marketing yang sudah Ia ikuti, dan telah membuahkan ribuan US $ mengalir ke rekeningnya.
Dengan berapi-api Ia melontarkan maksud-maksud yang mungkin Ia tujukan untuk membuat saya menjadi terpengaruh, satu hal dan tak lebih yaitu tentang kekayaan fisik belaka.
Dalam hati saya tertawa, mengapa hampir semua orang yang sangat piawai berbicara dan beretorika yang saya temui dimuka bumi ini cuma dan tak lebih berfikir mengenai kekayaan material yang duniawi banget itu.
Rata-rata mereka merekomendasikan saya untuk membaca sebuah buku berjudul “Rich Dad Poor Dad” dan atau “Cashflow Quadrant”, jujur saja saya memang sedang membaca buku-buku tersebut dirumah, belum selesai memang, namun yang saya fikirkan apapun argumentasi mengenai “kaya” didalam buku tersebut hendaknya kita juga mampu untuk mem-filter-nya tanpa harus kita telan mentah-mentah seluruh pesan-pesan didalamnya.
Pernah saya bertemu seorang teman lagi, yang saat ini sedang giat-giatnya menekuni ajaran agama. Beberapa kali Ia menganjurkan saya untuk menikah dengan wanita yang kaya agar dalam kehidupan nanti saya tidak lagi dipusingkan dengan masalah duniawi, sehingga saya dapat khusuk beribadah. yang sangat menggelikan, Ia beralasan Nabi pun menikahi seorang wanita yang notabene memang sangat kaya pada jamannya itu. Namun bagi saya, Nabi terlebih dahulu sudah memiliki kekayaan “hati dan nurani” dan dikehidupannya Tuhan pun secara automatis akan memberikan kelapangan dunia seperti pelimpahan harta dan rejeki.
Melangkah dari beberapa pembicaraan diatas, saya mulai semakin berfikir geli tentang apa yang manusia modern ini cari. Memang, pada jaman dua generasi diatas kita, kekayaan fisik masih bukan sebuah hal utama yang ingin mereka cari didalam kehidupannya. Keyakinan untuk selalu dekat kepada Sang Pencipta dan menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan, justru membuat mereka tenang dan ternyata juga mendapatkan berkah seperti apa yang orang sekarang sebut dengan kaya.
Sejarah memang membuktikan segalanya, terutama mengenai kemajuan berbagai bidang ilmu saat ini. Kemampuan berfikir manusia semakin berkembang pula. kebudayaan telah memimpin manusia agar segera memasang kuda-kuda untuk hidup, bertarung menjadi kaya, bahkan akhirnya memaksa manusia untuk menghalalkan segala cara.
Standar-standar fisik yang tidak resmi bagi kehidupan yang disebut mapan pada abad ini membentuk sebuah pola pikir baru. Sebut saja keinginan memiliki; sebuah rumah mewah yang dilengkapi dengan fasilitas lengkap, sebuah BMW, gaya-gaya hidup glamour dll, itu minimal harus kita miliki untuk dapat menjaga gengsi bagi lingkungan disekitar kita.
Berkali-kali materi selalu dijadikan dewa yang akan mengantarkan kita pada kehidupan yang tenang dan bahagia. Sehingga orang berlomba-lomba untuk mengejarnya terlebih dahulu dan menunda hal lain yang mungkin lebih prinsipil didalam kehidupan pribadinya.
Banyak sekali manusia menjadi “liar” membanting tulang dan mendoktrin fikirannya sendiri untuk berjuang secara “bringas” menjadi kaya. Melihat kondisi tersebut, seolah kita tak ubahnya berada dalam sebuah hutan rimba yang didalamnya penuh dengan hewan-hewan pemangsa yang tidak peduli dengan sesamanya.
“Kaya” sudah seperti layaknya timbunan daging lezat yang masih berlumur darah segar, dan tak ada satu hewan pemangsa pun yang mau bertahan untuk tidak menerkamnnya.
Wabah ingin “kaya”, memang sudah merasuk dari jaman dahulu di dalam tubuh pemerintahan sejak jaman kerajaan. Para perdana mentri, panglima perang dan sampai juga pejabat setingkat lurah, berlomba-lomba “membunuh” nuraninya dan rela menjilat bokong sang Raja demi kekuasaan dan harta belaka. Di abad kemerdekaan ber-Republik ini pun kebudayaan itu terus diwarisi oleh kalangan manusia bertopeng di pemerintahan.
Saya sendiri sudah sangat suntuk untuk membicarakan manusia-manusia arogan nan serakah itu, namun yang membuat saya prihatin adalah prilaku tersebut telah menjadi wabah yang umum di kalangan masyarakat menengah kebawah.
Guru saya, teman saya, saudara saya, tetangga, dan sebagainya. Mereka menjabarkan mengenai Goals dalam hidup mereka, yang justru membuat kita seperti dipertontonkan pada sebuah imajinasi buas anak manusia.
Tak mengherankan bila manusia yang diberikan oleh Tuhan berupa akal dan fikiran serta kesempurnaan jasmani dan rohani, pada akhirnya akan sampai pula pada sebuah titik yang mereka impikan.
Namun adakalanya usaha pencapaian manusia pada titik tertentu tersebut akan menjauhkan mereka dari lingkungan sosial dan menimbulkan sifat superior didalam dirinya. Kesombongan dan sikap individualis akan tampil dipanggung kesuksesannya, yang semuanya dikarenakan titik awal dari langkahnya untuk menjadi kaya telah dirasuki oleh mental buas tadi.
Seolah masyarakat diabad ini sudah kehabisan wadah untuk berbalik memikirkan kebersamaan persaudaraan dan keyakinan untuk menjalani hidup sederhana yang semata-mata bukan hanya mengejar materi semata. Paham kapitalis seperti telah mencapai titik suksesnya dalam menghembuskan kepentingan dan membentuk pola pikir ideologi mereka.
Hukum yang dibuat oleh pakar-pakar hukum telah lunglai oleh perinsip lama ; “hukum rimba”, siapa kuat ia lah yang akan berkuasa. Dan untuk menjadi kuat, sejarah dan budaya telah menuntun kita untuk mengejar harta, karena dengan nya lah kita akan merasa kuat dan bukan lagi kuat karena-Nya, yaitu bersandar kepada Tuhan.
Hati-hati .....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar