Selasa, 26 Januari 2010

Cuma Saya yang Tidak Bicara


Suatu hari empat sekawan berjanji satu sama lain untuk bermeditasi tanpa berbicara sepatah kata pun selama tujuh hari. Pada hari pertama semuanya tutup mulut, dan meditasi berjalan sesuai rencana. Ketika malam tiba, lampu minyak mulai kering, dan cahaya mulai redup. Seorang pelayan tertidur di dekat situ.

Salah satu dari mereka tidak tahan untuk tidak bersuara, "Isi lampu itu," katanya.

Orang kedua kaget mendengar suara temannya, "Hus! Kita kan tak boleh bicara,ingat nggak?"

"Kalian berdua bodoh! Kenapa bicara?" sergah orang ketiga.

Dengan suara lirih orang keempat menggumam, "Cuma saya yang tidak bicara."

Sejak lahir, kita memiliki hasrat bawaan untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar kita. Jika digunakan dengan benar, kata-kata tentu akan banyak membantu. Namun sering kali kita kelepasan bicara tanpa memikirkan terlebih dahulu apa yang seharusnya kita katakan atau apakah sebenarnya kita perlu bicara atau tidak.

Seperti empat sekawan tadi, kita sering berharap untuk tidak mengatakan apa yang terlanjur kita katakan. Pada saat itu, sudah terlambat karena kata-kata yang telah dikeluarkan tak dapat ditarik kembali. Kita mungkin saja meminta maaf, namun kerusakan telah terjadi.

Kita seyogianya menjadi tuan atas lidah kita. Lidah harus mengucapkan apa yang ingin kita ucapkan saja, bukannya berceloteh tak terkendali. Sayangnya, sering kali lidahlah yang menjadi tuan dan kita menjadi budaknya; kita terpaksa mendengar apa yang lidah ucapkan atas nama kita dan sering kita tak mampu menghentikan ocehannya. Kurangnya kesadaran dan kendali semacam itu kadang dapat membawa bencana.

Kesadaran, lagi-lagi, adalah kuncinya. Terlepas dari kita akhirnya akan bicara atau tidak bicara, sadarilah itu sebelum, selama, dan sesudahnya.
Be Happy!

Jumat, 22 Januari 2010

Maximize Yourself


Bagi anda pecinta basket, saya kira sudah sangat paham betul aturan permainan di dalamnya. Untuk mendapat 3 point dalam satu kali lemparan, sang pemain harus melempar di luar garis 3 point yang ada. Logikanya pemain tersebut harus melempar lebih kuat jika ingin memasukkan bola ke dalam keranjang dibandingkan dia ada di dalam garis tersebut. Contoh lain adalah pemain golf, apabila dia ingin memasukkan bola ke dalam hole yang letaknya lebih jauh maka otomatis dia harus mengayunkan stick golfnya lebih kencang.

Hal serupa terjadi dalam hidup anda, jika ingin mendapat hasil yang optimal sesuai harapan anda, maka konsekuensinya anda harus mau dan mampu memaksimalkan kemampuan anda. Banyak orang memiliki perspektif yang salah, di mana mereka mau mendapat hasil yang maksimal tapi enggan untuk memaksimalkan potensi dirinya sendiri. Saya ingat sebuah pepatah mengatakan "Apa yang kau tanam itulah yang akan kau tuai" Sangatlah adil memang jika anda mengeluarkan usaha yang begitu minim, maka mendapat hasil yang minim pula. Usaha yang dikeluarkan sangat maksimal, maka hasilnya pun akan maksimal.

Maksimal yang seperti apa yang seharusnya dilakukan? Apakah harus bekerja terus menerus sampai anda kelelahan? Atau kerja keras tanpa menghiraukan waktu? Setiap orang mungkin memiliki pandangan yang berbeda dan sah-sah saja, tapi salah satu yang cukup efektif untuk dilakukan adalah memaksimalkan potensi diri khususnya talent (bakat)yang anda miliki.

Setiap manusia diciptakan Tuhan memiliki talent yang berbeda, ada yang mahir dalam dunia musik, pandai dalam ilmu eksakta, paham dengan dunia programing, mahir dalam olahraga, atau bidang lainnya. Tidak ada manusia diciptakan tidak memiliki sebuah talent, jika ada yang mengatakan "Saya tidak memiliki talent" maka orang tersebut bukannya tidak ada melainkan belum mencari dan menggali lebih dalam. Anda harus mengidentifikasi sendiri apa yang menjadi kegemaran anda, dan pada bidang apa anda merasa dapat lebih maksimal dibandingkan dengan bidang yang lain. Jika anda sudah menemukan, mulailah untuk dikembangkan dan dimaksimalkan.

Tidak ada manusia yang diciptakan memiliki talent yang lebih dibanding yang lain, tidak ada talent yang porsinya lebih besar di antara manusia. Menurut saya semua hal tersebut diberikan dalam ukuran yang sama. Yang membedakan adalah apakah anda mau memperbesar dan memaksimalkan talent anda tersebut atau hanya membiarkannya saja. Deretan orang sukses dibidangnya masing-masing seperti Bill Gates, Beethoven, Michael Jordan, bukan semata-mata karena mereka memiliki talent lebih dari anda, tapi mereka mau memaksimalkan talent tersebut.

Saya pernah membaca sebuah artikel yang menggambarkan sebuah perumpamaan seperti ini: bayangkan sebuah kolam air yang tenang, jika anda ingin membuat gelombang di antaranya anda harus melemparkan batu yang cukup besar ke dalamnya. Apabila kerikil yang anda lempar maka gelombang yang dihasilkanpun kecil. Membentuk Batu besar atau batu kerikil tergantung dari anda apakah mau
memaksimalkan potensi anda menjadi sebuah batu besar atau cukup dengan kerikil saja. Jika anda mau menciptakan gelombang yang lebih besar dalam hidup anda, anda tahu batu mana yang diperlukan.
You will never grow if you never maximize yourself.

Selasa, 12 Januari 2010

7 Quick Ways to Calm Down


Anxiety zappers that can rescue you from daily stresses

I'm easily overwhelmed. When my kids' exuberant screams reach a decibel level my ears can't tolerate, when Chuck E., the life-size "rat" at the pizza place, starts doing his jig while flashing arcade lights blind me, or when I open my email to find 100 messages--I feel a meltdown coming on. Which is why I came up with seven quick ways to calm myself down.

I turn to these when I don't have time to call my mom and hear her tell me, "Everything is going to be fine." They keep me centered and grounded for as long as possible, and they help me relax my body even during those times when screaming kids and dancing life-size rats converge.
1. Walk Away
Know your triggers. If a conversation about global warming, consumerism, or the trash crisis in the U.S. is overwhelming you, simply excuse yourself. If you're noise-sensitive and the scene at Toys-R-Us makes you want to throw whistling Elmo and his buddies across the store, tell your kids you need a time-out. (Bring along your husband or a friend so you can leave them safely, if need be.) My great-aunt Gigi knew her trigger points, and if a conversation or setting was getting close to them, she simply put one foot in front of another, and departed.
2. Close Your Eyes
Gently let the world disappear, and go within to regain your equilibrium. Ever since my mom came down with blepharospasm (a neurological tick of the eyelid), I've become aware of how important shutting our eyes is to the health of the nervous system. The only treatment available for this disorder is to have surgery that permanently keeps your eyelids open (you need to moisten them with drops, etc.). Such a condition would be living hell for my mom, because in closing her eyes she regains her balance and proper focus.

The only time I recommend not using this technique is on the road (if you're driving).

3. Find Some Solitude

This can be challenging if you are at work, or at home with kids as creative and energetic as mine. But we all need some private time to let the nervous system regenerate.

I must have known this back in college, because I opted for a tiny single room (a nun's closet, quite literally), rather than going in on a larger room with a closet big enough to store my sweaters. When three of my good friends begged me to go in with them on a killer quad, I told them, "Nope. Can't do it. Need my alone time, or else none of you would want to be around me. Trust me."

My senior year I went to the extent of pasting black construction paper on the window above my door so no one would know if I was there, in order to get the hours of solitude that I needed.

Be creative. Find your space. Any way you can. Even it involves black construction paper.

4. Go Outside
This is a true lifesaver for me. I need to be outside for at least an hour every day to get my sanity fix. Granted, I'm extremely lucky to be able to do so as a stay-at-home mom. But I think I would somehow work it into my schedule even if I had to commute into the city every day.

Even if I'm not walking or running or biking or swimming, being outside calms me in a way that hardly anything else can. With an hour of nature, I go from being a bossy, opinionated, angry, cynical, uptight person into a bossy, opinionated, cynical, relaxed person. And that makes the difference between having friends and a husband to have dinner with and a world that tells me to go eat a frozen dinner by myself because they don't want to catch whatever grumpy bug I have.

5. Find Some Water

While watching Disney's "Pocahontas" the other day with my daughter Katherine (yes, I do get some of my best insights from cartoons), I observed the sheer joy the main character shows upon paddling down the river, singing about how she is one with the water. It reminded me of how universal the mood effects of water are, and how healing.

On the rainy or snowy days that I can't walk the double stroller over to our local creeks, I do something the global-warming guys say not to; take a long shower, imagining that I am in the middle of a beautiful Hawaiian rain forest.

"Water helps in many ways," writes Elaine Aron. "When overaroused, keep drinking it--a big glass of it once an hour. Walk beside some water, look at it, listen to it. Get into some if you can, for a bath or a swim. Hot tubs and hot springs are popular for good reasons."
6. Breathe Deeply
Breathing is the foundation of sanity, because it is the way we provide our brain and every other vital organ in our body with the oxygen needed for us to survive. Breathing also eliminates toxins from our systems.

Years ago, I learned the "Four Square" method of breathing to reduce anxiety:

1. Breathe in slowly to a count of four.
2. Hold the breath for a count of four.
3. Exhale slowly through pursed lips to a count of four.
4. Rest for a count of four (without taking any breaths).
5. Take two normal breaths.
6. Start over again with number one.

7. Listen to Music

Across the ages, music has been used to soothe and relax. During the worst months of my depression, I blared the soundtrack of "The Phantom of the Opera." Pretending to be the phantom with a cape and a mask, I twirled around our living room, swinging my kids in my arms. I belted out every word of "The Music of the Night."

"Softly, deftly, music shall caress you, Feel it, hear it, secretly possess you...."

The gorgeous song--like all good music--could stroke that tender place within me that words couldn't get to.